Dmedia - Fenomena resistensi publik terhadap penggunaan strobo, rotator, dan sirene di jalan raya merefleksikan sebuah tendensi sosial yang bersifat dialektis antara kepentingan otoritas dan persepsi warga mengenai keadilan ruang publik. Ekspresi keresahan yang muncul di ranah media sosial baik melalui poster digital maupun bentuk satir berupa stiker pada kendaraan dapat dibaca sebagai artikulasi simbolik dari ketidakpuasan struktural. Kritik yang diarahkan pada kendaraan pejabat yang memanfaatkan fasilitas pengawalan di luar kondisi darurat, serta praktik ilegal pemasangan perangkat tersebut pada mobil berpelat sipil, memperlihatkan adanya jarak antara norma normatif dalam regulasi dengan implementasi kontekstual di lapangan.

Dalam kerangka respons institusional, Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Agus Suryonugroho, mengambil langkah yang bersifat temporer namun signifikan, yakni penghentian penggunaan sirene, rotator, dan strobo di lapangan. Kebijakan ini tidak dapat dipahami sekadar sebagai prosedur administratif, melainkan sebagai bentuk sintesis dialektis antara tekanan sosial dan orientasi normatif lembaga negara. Penekanan Agus bahwa keputusan ini lahir dari aspirasi masyarakat menunjukkan adanya pergeseran paradigma menuju model pengelolaan lalu lintas yang lebih holistik dan partisipatif.

Namun, dimensi fungsional tetap dipertahankan. Praktik pengawalan pejabat tidak sepenuhnya dihapus, melainkan direduksi dari aspek simbolisnya yaitu penggunaan sirene dan strobo guna meredam keresahan publik. Pola kebijakan ini dapat dibaca sebagai upaya menjaga keseimbangan antara legitimasi otoritas dan kebutuhan masyarakat akan ketertiban struktural di ruang jalan raya.

Di sisi regulatif, Korlantas Polri tengah menyiapkan aturan baru yang bersifat rekonstruktif terhadap pemakaian perangkat prioritas. Formulasi ulang ini bertujuan memperjelas batasan normatif, sekaligus menutup celah penyalahgunaan yang selama ini memicu ketegangan. Dari perspektif akademis, langkah ini menunjukkan sebuah proses transisi dari kerangka regulasi reduksionis yang sekadar menegaskan hak dan larangan menuju kerangka normatif yang lebih kontekstual, yaitu mengintegrasikan aspek kepatuhan hukum dengan sensibilitas sosial.

Patut dicatat bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 134 sesungguhnya telah mengatur secara normatif hierarki kendaraan yang berhak memperoleh prioritas, mulai dari mobil pemadam kebakaran, ambulans, hingga kendaraan pejabat negara maupun tamu asing. Namun, kenyataan lapangan menunjukkan adanya friksi struktural: regulasi formal yang rigid sering kali tereduksi ketika berhadapan dengan praktik sosial yang lebih cair, seperti penyalahgunaan oleh individu atau kelompok tertentu.

Dalam horizon reflektif, evaluasi dan penataan ulang kebijakan Polri tidak hanya sekadar upaya teknis, melainkan sebuah momentum paradigmatik untuk mengembalikan perangkat prioritas jalan kepada fungsi ontologisnya: mendukung keselamatan dan kepentingan darurat. Dengan demikian, kebijakan ini dapat dipandang sebagai upaya rekonsiliasi normatif antara negara dan masyarakat dalam kerangka tata kelola lalu lintas yang lebih adil, tertib, dan berorientasi pada kepentingan publik secara holistik.