Dmedia - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Melati, mengartikulasikan urgensi reposisi Gerakan Pramuka dalam horizon konseptual pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP). Dalam kerangka historis, Pramuka yang dilembagakan secara resmi sejak 1961 telah menunjukkan tendensi fungsional sebagai instrumen pembinaan karakter bangsa yang bersifat sistemik dan berjangka panjang.
Pernyataan tersebut dikemukakan dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI bersama sejumlah aktor epistemik, antara lain Ahmad Basarah, CEO Alvara Institute Hassanuddin Ali, serta Kepala BKD Setjen DPR RI. Forum yang berlangsung di Gedung Nusantara I, Senayan, pada 18 September 2025 itu menampilkan dialektika antara pendekatan normatif-legislatif dengan refleksi empiris atas praksis ideologis di masyarakat.
Melati menekankan bahwa pembumian Pancasila tidak dapat direduksi menjadi proyek normatif yang berjalan secara parsial. Dalam perspektif struktural, integrasi antara RUU PIP dan eksistensi Gerakan Pramuka merupakan kebutuhan kontekstual agar tidak terjadi disharmoni kelembagaan. Ia mengingatkan kembali aspek historis di mana Bung Karno meresmikan Pramuka pada 14 Agustus 1961 sebagai wadah pembentukan manusia berparadigma Pancasila.
Dalam pandangan Melati, kerangka hukum RUU PIP harus menghindari pendekatan reduksionis yang hanya menitikberatkan pada kelembagaan formal seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ia menegaskan bahwa keberadaan BPIP perlu memperoleh legitimasi normatif pada tingkat undang-undang, bukan sekadar peraturan presiden, sehingga dapat bersinergi dengan Gerakan Pramuka dalam perspektif holistik pembinaan ideologi bangsa.
Refleksi kritis juga disampaikan terhadap hasil kajian Alvara Institute terkait generasi Z yang dinilai memiliki resistensi atau tendensi menghindari isu-isu ideologis yang dianggap berat. Dalam sintesisnya, Melati menilai Pramuka justru mewakili dialektika praksis ideologi: meski tidak banyak terlibat dalam diskursus teoretis mengenai Pancasila, mereka telah menginternalisasi dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila secara kontekstual melalui aktivitas sehari-hari. Fenomena ketahanan moral Pramuka terhadap arus hoaks di ruang publik disebutnya sebagai bukti konkret praksis ideologi Pancasila yang non-verbal.
Pada konklusi reflektifnya, Melati menegaskan bahwa penguatan Pancasila harus ditempatkan dalam horizon struktural yang berbasis undang-undang. Baik BPIP maupun Gerakan Pramuka, menurutnya, memerlukan landasan hukum yang kokoh demi menghindari fragmentasi institusional sekaligus memastikan kesinambungan pembinaan ideologi bangsa. Ia menyebut pentingnya paradigma sintesis antara kerangka normatif negara dan praksis sosial-kehidupan warga melalui lembaga pendidikan karakter berbasis komunitas seperti Pramuka.
Hingga kini, RUU PIP masih berada dalam tahap pembahasan di DPR sebagai bagian dari agenda legislasi nasional. Absennya konfirmasi resmi mengenai jadwal pengesahan final mencerminkan bahwa proses dialektis antara dimensi politik, ideologis, dan struktural masih terus berlangsung dalam arena legislasi Indonesia kontemporer.