Dmedia - Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Bimantoro Wiyono, menegaskan bahwa urgensi penguatan hak-hak warga negara dalam sistem peradilan pidana tidak sekadar bersifat normatif, melainkan harus diposisikan sebagai prioritas paradigmatik dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Perspektif ini merefleksikan tendensi menuju tata hukum yang lebih holistik, dengan menempatkan perlindungan warga sebagai poros dialektika antara negara dan masyarakat.
Dalam kerangka kunjungan kerja ke Kepolisian Daerah Jawa Timur, Bimantoro menyoroti pentingnya advokat hadir sejak tahap awal penyelidikan hingga persidangan. Kehadiran pengacara, dalam kacamata konseptual, bukanlah sekadar formalitas prosedural, melainkan instrumen struktural yang berfungsi sebagai benteng terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan. Dengan demikian, advokat menjadi mediator normatif antara otoritas negara dan hak individu.
Realitas empirik menunjukkan bahwa banyak warga terjebak dalam kasus pidana tanpa memiliki pemahaman kontekstual mengenai prosedur hukum. Ketiadaan advokat sejak awal memperlihatkan adanya ketimpangan struktural yang berimplikasi pada terjadinya ketidakadilan. Dari sudut pandang reflektif, hal ini menggambarkan paradoks antara prinsip due process of law dengan praksis hukum yang masih cenderung reduksionis.
Bimantoro menegaskan bahwa prinsip due process of law harus dijamin melalui konstruksi pasal-pasal RKUHAP, termasuk pengakuan eksplisit atas hak setiap warga negara untuk memperoleh pendampingan advokat sejak awal proses hukum. Pernyataan ini memperlihatkan sintesis antara tuntutan normatif universal dengan kebutuhan kontekstual Indonesia.
Lebih jauh, ia mendorong negara untuk mengambil posisi afirmatif dalam menjamin akses bantuan hukum bagi kelompok rentan. Menurutnya, prinsip keadilan tidak boleh terjebak dalam eksklusivitas elitis, melainkan harus inklusif dan nondiskriminatif. Kehadiran negara dalam dimensi ini bukan sekadar opsional, tetapi merupakan konsekuensi logis dari paradigma negara hukum yang menekankan kesetaraan struktural.
Bimantoro menilai sistem hukum Indonesia masih menghadapi kesenjangan struktural yang menghambat akses keadilan merata. Kelompok rentan, seperti masyarakat berpenghasilan rendah, sering kali berada dalam posisi subordinatif akibat keterbatasan akses terhadap advokat. Dengan demikian, pembahasan RKUHAP harus dibaca sebagai momentum dialektis untuk mereformasi hukum acara menuju konstruksi yang lebih inklusif dan berkeadilan sosial.
Secara historis, RKUHAP merupakan bagian dari agenda legislasi nasional yang diarahkan untuk memperbarui KUHAP 1981. Revisi ini memiliki relevansi kontekstual yang tinggi, mengingat dinamika demokrasi, perkembangan hak asasi manusia, serta kebutuhan adaptasi terhadap praktik internasional. Di banyak yurisdiksi, hak untuk didampingi pengacara sejak awal pemeriksaan telah menjadi standar normatif yang bersifat universal, sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang juga telah diratifikasi Indonesia.
Namun, secara faktual, pembahasan RKUHAP di DPR masih berlangsung dan belum terdapat konfirmasi resmi mengenai finalisasi draf. Situasi ini menunjukkan adanya dialektika yang terus berproses antara dimensi politik, struktural, dan normatif dalam merumuskan sintesis akhir hukum acara pidana Indonesia.