Dmedia - Penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pada hakikatnya merepresentasikan sebuah fase penting dalam dialektika kebijakan publik nasional. Dokumen ini tidak sekadar berfungsi sebagai instrumen administratif, melainkan sebagai manifestasi dari paradigma perencanaan pembangunan yang berupaya merangkul dimensi fiskal, sosial, dan institusional secara holistik.

Salah satu aspek yang menimbulkan tendensi diskursif ialah isu kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI/Polri, serta pejabat negara. Namun, secara struktural, program tersebut masih berada dalam ranah normatif tersurat dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan belum mengalami transformasi menjadi regulasi operasional. Dengan demikian, terdapat jarak dialektis antara formulasi konseptual dan praksis implementatif yang masih memerlukan sintesis melalui instrumen lanjutan, terutama Peraturan Pemerintah maupun keputusan anggaran dalam kerangka APBN 2025.

Selain isu remunerasi, Perpres ini juga merumuskan delapan program percepatan atau quick wins yang dirancang sebagai intervensi kontekstual untuk menjawab kebutuhan mendesak masyarakat. Program-program tersebut bergerak dalam spektrum multidimensional: mulai dari pemberian makan siang dan susu gratis bagi siswa, penguatan layanan kesehatan dan penuntasan TBC, peningkatan produktivitas pertanian melalui lumbung pangan, hingga pendirian Badan Penerimaan Negara yang ditargetkan mampu mendorong rasio penerimaan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ke angka 23 persen.

Jika ditelaah secara paradigmatik, quick wins ini memperlihatkan logika kebijakan yang bersifat ganda. Di satu sisi, ia bersifat reduksionis karena mencoba menjawab problematika sosial-ekonomi dengan solusi cepat dan terukur. Namun di sisi lain, ia juga mengandung visi holistik karena berupaya membangun fondasi jangka panjang dalam kerangka pemerataan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Dialektika antara kebutuhan pragmatis jangka pendek dan strategi struktural jangka panjang inilah yang menjadi inti refleksi dari kebijakan tersebut.

Dalam konteks perbandingan global, kebijakan ini selaras dengan tendensi internasional yang menekankan perlindungan sosial sebagai instrumen stabilitas makro sekaligus legitimasi politik. Paradigma subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan yang diadopsi memperlihatkan sintesis antara tuntutan domestik dan konstelasi global, sehingga menempatkan Indonesia dalam arus besar reformasi sosial-ekonomi dunia kontemporer.

Sementara itu, gagasan untuk memperkuat kemandirian fiskal melalui reformasi kelembagaan perpajakan tercermin dalam pembentukan Badan Penerimaan Negara dapat dipahami sebagai upaya struktural untuk mengoreksi defisit historis Indonesia yang selama ini memiliki rasio penerimaan relatif rendah dibandingkan negara-negara berkembang lain. Kebijakan ini bukan hanya teknokratis, melainkan juga refleksi atas kesadaran normatif bahwa keberlanjutan pembangunan mensyaratkan basis fiskal yang kokoh.

Dengan demikian, Perpres 79/2025 dapat dibaca sebagai simbol sintesis antara dimensi normatif dan operasional, antara orientasi jangka pendek dan visi jangka panjang, serta antara tuntutan kontekstual masyarakat dengan struktur institusional negara. Kendati implementasi penuh masih menunggu dialektika politik anggaran di APBN 2025, dokumen ini telah menegaskan arah paradigmatik pembangunan Indonesia: sebuah upaya untuk menyeimbangkan rasionalitas teknokratis, kebutuhan sosial, dan konsistensi fiskal dalam kerangka pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.