Dmedia - Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi Solusi Dua Negara yang berlangsung di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, menegaskan paradigma politik luar negeri Indonesia yang konsisten berpijak pada amanat konstitusi dan prinsip bebas-aktif. Dalam kerangka dialektika global mengenai konflik Israel–Palestina, posisi Indonesia ditampilkan bukan sekadar sebagai sikap normatif, melainkan sebagai upaya artikulasi tanggung jawab historis dan etis di hadapan komunitas internasional.
Prabowo menekankan bahwa segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil harus dipandang sebagai problem struktural dalam tatanan internasional yang selama ini cenderung reduksionis, menormalisasi penderitaan kemanusiaan tanpa sintesis solusi yang holistik. Ia secara reflektif menggarisbawahi penderitaan warga Gaza khususnya perempuan dan anak-anak sebagai manifestasi nyata dari krisis multidimensional: mulai dari deprivasi material akibat kelaparan hingga degradasi nilai kemanusiaan universal.
Dalam konteks ini, Presiden menegaskan bahwa solusi dua negara bukan semata pilihan politis, melainkan keharusan historis dan normatif sebagai jalan menuju rekonsiliasi dialektis antara hak asasi, keadilan, dan kedaulatan. Seruannya agar komunitas internasional segera mengakui Palestina sebagai negara berdaulat merefleksikan tendensi Indonesia untuk mendorong konsensus global yang lebih kontekstual, melampaui wacana simbolik dan menuju praksis konkret.
Lebih jauh, Prabowo menegaskan urgensi penghentian perang di Gaza sebagai prioritas global yang tidak dapat ditunda. Ia mengidentifikasi kebencian, ketakutan, dan kecurigaan sebagai residu psikososial yang harus didekonstruksi demi tercapainya perdamaian substantif. Dalam bingkai struktural, perdamaian yang dimaksud bukan sekadar absennya kekerasan, tetapi juga kehadiran kondisi yang memungkinkan umat manusia hidup dalam rasa aman dan bermartabat.
Sebagai bentuk komitmen praksis, Indonesia menyatakan kesiapannya berpartisipasi lebih aktif melalui pengerahan pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB. Sikap ini mengilustrasikan sintesis antara prinsip bebas-aktif dan tanggung jawab kosmopolitan terhadap tata dunia yang lebih adil.
Konferensi yang menghadirkan 33 delegasi negara dan organisasi internasional, termasuk Uni Eropa serta Liga Arab, menegaskan intensifikasi upaya kolektif menuju implementasi solusi dua negara. Kehadiran Indonesia, menurut sejumlah diplomat, menambah bobot moral bagi desakan global agar kekerasan di Gaza segera dihentikan.
Secara struktural, posisi Indonesia yang menolak normalisasi hubungan dengan Israel sebelum pengakuan negara Palestina merefleksikan kontinuitas paradigma politik luar negeri yang konsisten dengan amanat konstitusi: menentang segala bentuk kolonialisme. Lebih jauh, kontribusi Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang terbesar pasukan penjaga perdamaian PBB, dengan lebih dari 2.700 personel aktif, menunjukkan keselarasan antara komitmen normatif dan praksis institusional dalam ranah internasional.