Dmedia - Dalam kerangka forum High-level International Conference on the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of Two-State Solution, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan tendensi normatif Indonesia dalam mendukung pengakuan segera terhadap negara Palestina. Pernyataannya menyoroti urgensi penghentian kekerasan di Gaza sebagai prioritas etik dan kemanusiaan dalam dialektika politik global kontemporer.
Seruan Prabowo “Kita harus mengakui Palestina sekarang. Kita harus menghentikan bencana kemanusiaan di Gaza. Mengakhiri perang harus menjadi prioritas utama kita” dapat dipahami sebagai manifestasi paradigma holistik, yang menolak reduksionisme geopolitik semata dan justru menekankan dimensi humanistik serta moralitas universal dalam resolusi konflik.
Lebih jauh, presiden menekankan perlunya dekonstruksi terhadap struktur kebencian, ketakutan, dan kecurigaan, yang secara kontekstual telah memperpanjang konflik Israel–Palestina. Dalam perspektif konseptual, pernyataan ini merepresentasikan sebuah sintesis bahwa hanya melalui konstruksi perdamaian dapat tercipta jaminan masa depan umat manusia yang lebih berkelanjutan.
Sebagai komitmen konkret, Prabowo mengekspresikan kesiapan Indonesia untuk menyediakan pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB. Pernyataan: “Kami siap mengambil bagian kami dalam perjalanan menuju perdamaian ini. Kami bersedia menyediakan pasukan penjaga perdamaian,” dapat dibaca dalam kerangka struktural sebagai artikulasi peran Indonesia dalam arsitektur keamanan internasional.
Pidato tersebut ditutup dengan repetisi normatif “Damai. Perdamaian sekarang. Perdamaian segera. Kita butuh perdamaian” yang, jika ditafsirkan secara reflektif, merupakan strategi retoris guna menegaskan urgensi aksi kolektif, bukan sekadar retorika simbolik.
Dalam dimensi historis, konflik Israel–Palestina, khususnya pasca eskalasi militer di Gaza sejak 2023, telah menimbulkan korban yang signifikan: lebih dari 37.000 warga Palestina tewas dan 80.000 terluka hingga Agustus 2025, sementara serangan roket serta operasi militer menewaskan ratusan warga sipil di Israel. Data ini memperlihatkan dimensi struktural dari tragedi kemanusiaan, yang tidak dapat disederhanakan dalam kerangka reduksionis semata sebagai pertarungan militer, melainkan harus dipahami dalam dialektika kolonialisme, identitas, dan politik global.
Indonesia, yang secara konsisten menolak normalisasi dengan Israel tanpa pengakuan terhadap negara Palestina, mempertahankan posisi paradigmatik yang berakar pada politik luar negeri bebas-aktif serta amanat konstitusional untuk menentang penjajahan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, intervensi diplomatik Indonesia di forum internasional ini tidak hanya bersifat kontekstual, tetapi juga mengafirmasi kesinambungan historis visi kebangsaan sejak awal kemerdekaan.
Pernyataan Prabowo juga memperkuat citra Indonesia sebagai aktor signifikan dalam diplomasi multilateral. Saat ini, Indonesia merupakan salah satu kontributor terbesar pasukan penjaga perdamaian PBB dengan lebih dari 2.700 personel yang bertugas di Lebanon, Republik Demokratik Kongo, dan Sudan Selatan. Kesiapan Jakarta menambah kontingen untuk Palestina mengindikasikan intensi struktural untuk memperluas kontribusi dalam menjaga stabilitas global.
Namun, hingga kini belum terdapat kejelasan normatif maupun teknis terkait jumlah maupun kerangka operasional pasukan yang ditawarkan. Respons Israel pun belum muncul secara resmi. Akan tetapi, beberapa diplomat menafsirkan tawaran Indonesia sebagai bentuk tekanan moral terhadap komunitas internasional, yang hingga kini masih menunjukkan ambivalensi dalam implementasi solusi dua negara.
Konferensi tingkat tinggi ini, yang dihadiri perwakilan lebih dari 100 negara dan sejumlah organisasi internasional, pada hakikatnya merepresentasikan arena dialektika global yang berupaya mencari sintesis antara aspirasi keadilan, stabilitas politik, dan kepentingan strategis dalam konflik yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade.