Jakarta, Dmedia - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang penting yang menyoroti perluasan definisi disabilitas fisik bagi penyintas penyakit kronis tak kasat mata. Salah satu saksi utama, Fadel Nooriandi, penyintas Thalassemia Mayor, menyampaikan kesaksian yang menggugah, menyerukan keadilan bagi mereka yang hidup dengan kondisi serupa. Selasa (21/10/2025).

Fadel, yang sejak usia delapan bulan menjalani transfusi darah seumur hidup akibat Thalassemia, memaparkan tantangan di luar aspek medis. Ia mengungkap bahwa penderitaan terbesar bukan hanya prosedur medis, tetapi diskriminasi sosial dan hambatan dalam akses pendidikan serta pekerjaan.

“Yang paling berat adalah membuktikan bahwa kami tetap mampu,” ujar Fadel di hadapan majelis hakim. “Banyak dari kami ditolak bekerja hanya karena hasil pemeriksaan medis.”

Menurut data Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI), hanya sekitar 30 persen penyintas Thalassemia dewasa yang memiliki pekerjaan tetap, sementara lebih dari 60 persen ditolak di tahap pemeriksaan kesehatan pra-kerja. Kondisi serupa terjadi di dunia pendidikan, di mana siswa dengan Thalassemia sering dianggap tidak disiplin karena harus menjalani transfusi rutin di rumah sakit.

Dalam sidang tersebut, Fadel menggambarkan bagaimana perjuangan hidup di antara transfusi dan stigma membentuknya menjadi pribadi tangguh. Ia mengenang teman-teman seperjuangan yang meninggal dunia akibat komplikasi penyakit, menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk generasi selanjutnya agar tidak kehilangan hak dasar akibat kondisi kronis.

Fadel juga menekankan pentingnya kehadiran negara dalam melindungi kelompok dengan kondisi tak tampak. Ia menyerukan agar regulasi turunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas mencakup kondisi kronis seperti Thalassemia sebagai bagian dari kelompok disabilitas yang diakui negara.

“Negara harus hadir memastikan keadilan yang setara bagi semua warga, agar kami tidak lagi diperlakukan berbeda di sekolah, tempat kerja, atau lingkungan masyarakat,” kata Fadel.

Kesaksian Fadel mencerminkan realitas ribuan penyintas Thalassemia di Indonesia yang masih berjuang di tengah keterbatasan sistem dukungan sosial. Selain perjuangan personal, isu ini menjadi sorotan publik karena mencerminkan kesenjangan dalam implementasi kebijakan inklusi nasional.

Dalam penutupan kesaksiannya, Fadel menyampaikan pesan yang kuat dan emosional:

“Kami bukan hanya kumpulan luka, kami adalah arsitektur dari keberanian. Kami tidak mencari simpati, kami mencari keadilan.”

Fadel Nooriandi dikenal sebagai aktivis kesehatan dan pembicara publik yang aktif menyuarakan kesadaran tentang inklusivitas disabilitas. Melalui komunitas Thalassemia Movement dan kampanye #StopThalassemia, ia turut mendorong pelaksanaan skrining Thalassemia nasional untuk mencegah peningkatan kasus baru.

Isu ini memperlihatkan bahwa perjuangan penyintas penyakit kronis tak hanya berada di ruang medis, tetapi juga di ranah hukum dan kebijakan publik. Sidang di MK menjadi momentum penting bagi negara untuk menentukan arah kebijakan disabilitas yang lebih inklusif dan berbasis keadilan sosial.